Banyak para ahli
yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan
cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang
sama.
Kartono (1983) memberi batasan
korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan- kekuatan formal (misalnya denagan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.Korupsi terjadi
disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh
pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi
atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970)
menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan
bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang
pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau
orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap
sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling
menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.
SEBAB- SEBAB KORUPSI
Ada beberapa sebab terjadinya
praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab
terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi
(23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial
(7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan
pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan
dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang
rendah.
d. Persepsi yang
populer.
e. Pengaturan
yang bertele-tele.
f. Pengetahuan
yang tidak cukup dari bidangnya.
Kinerja Pemerintah Indonesia dalam Pemberantasan
Korupsi Belum Maksimal
Kinerja pemerintah dalam
pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir,
masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan
korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh
dari ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan pemerintah
yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja
dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang
dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs
Polri,” terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain adanya
upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas
kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun
terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan
korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP
No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres
No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas
pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif
dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006
justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan keluarnya
PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD,
menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah dalam
pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan
Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009
tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu
paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh
pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas
dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni
kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman
Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang
semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
BEBERAPA KASUS KORUPSI DI INDONESIA YG BELUM SELESAI
SOEHARTO
Kasus Soeharto
Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan
(Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong
Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan.
Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah
sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.
PERTAMINA
Dugaan korupsi
dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo
Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di
Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $
24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde
Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina
Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus Proyek
Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan
tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini
menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini
tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3
Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di
Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau
penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
Kasus Proyek
Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa),
melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano
Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
Korupsi di BAPINDO
Tahun 1993,
pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh
Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara
dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan
Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang
penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian
negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang
terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu,
sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah
divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek
pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu
juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15
juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu
diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman
industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331
miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden
Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan
kakap ini tak jelas kelanjutannya.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan
Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu
menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total
dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan
penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur
Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam
pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran
BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman
masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu
ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga
petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya
beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank
Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan
Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Yang jelas,
hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan
penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus.
Proses hukum kasus-kasus korupsi besar belum selesai hingga
ke akar-akarnya. KPK, Kejaksaan Agung dan Polri tidak perlu rebutan
perkara-perkara yang masih menggantung tersebut.Dalam laporan menyambut tahun
2011, Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat,
ada lima kasus berskala nasional yang proses hukumnya bergulir pada 2010, tapi
masih menjadi tanda tanya besar karena belum tuntas hingga tahun berganti.
Kasus itu adalah perkara sistem administrasi badan hukum (sisminbakum), kasus
Depsos, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia (DGSBI) Miranda
Goeltom, kasus Gayus Tambunan dan kasus Bank Century.
Pertama, perkara sisminbakum yang menyeret bekas Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, menurut PUKAT, menjadi tanda tanya besar setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohan kasasi bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita. Romli dinyatakan lepas dari segala tuntutan dan dapat menghirup udara bebas.
Pertama, perkara sisminbakum yang menyeret bekas Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, menurut PUKAT, menjadi tanda tanya besar setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohan kasasi bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita. Romli dinyatakan lepas dari segala tuntutan dan dapat menghirup udara bebas.
Kedua,
kasus pengadaan sarung, mesin jahit dan sapi untuk bantuan sosial di
Departemen Sosial. Kasus itu telah menyeret bekas Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
Jakarta. “Biarpun sudah masuk persidangan, tapi kita harus mencermatinya sebelum
hakim menjatuhkan vonis,” ujar aktivis PUKAT Hifdzil Alim.
Ketiga, yang juga masih menjadi tanda tanya besar adalah kasus suap pemilihan DGS BI Miranda Goeltom. Soalnya, meskipun sudah ada tersangka baru sebanyak 26 orang, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menetapkan pihak-pihak yang diduga sebagai penyuap menjadi tersangka. Sejauh ini, 26 tersangka dan empat terpidana kasus tersebut berasal dari pihak yang menurut KPK disuap. “Kasus ini seperti tebang pilih. Miranda masih bebas, begitu pula Nunun Nurbaetie yang menggunakan alasan sakit lupa ingatan dan sedang menjalani perawatan di Singapura,” ujar Hifdzil. Menurut dia, lembaga yang kini dipimpin Busyro Muqoddas itu mesti kembali menunjukkan sikap independennya, sehingga tidak terpengaruh intervensi politik. “Ini menjadi PR besar ketua KPK yang baru,” tandasnya.
Keempat, kasus Gayus Tambunan. Menurut PUKAT, kasus Gayus seperti dibonsai. Soalnya, yang terlibat dalam kasus itu hanya pejabat kelas teri tanpa big fish yang diucapkan Gayus dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Ucapan Gayus itu seharusnya ditelusuri semua lembaga penegak hukum, soalnya itu adalah fakta persidangan,” tegas Hifdzil.
Kelima, kasus Bank Century. Menurut PUKAT, sejak kasus ini melejit ke permukaan, lembaga penegak hukum belum ada yang bekerja secara maksimal menangani perkara tersebut. KPK sampai saat ini belum bisa menemukan dugaan praktik korupsi. Padahal, lembaga superbodi itu telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang. “KPK belum maksimal kerjanya dalam skandal Century ini, padahal kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 6,7 triliun,” tandas Hifdzil. Berdasarkan data PUKAT, yang telah diperiksa itu berasal dari beberapa instansi, yaitu Bank Indonesia 31 orang, Bank Century 39 orang, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 11 orang, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 12 orang, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) 1 orang dan lainnya 3 orang. “Namun, dalam pemeriksaan yang banyak itu, belum ditemukan indikasi korupsi satu pun,” tandasnya.
Hifdzil berharap, pada tahun ini, KPK, Kejaksaan Agung dan Polri melakukan rekonsiliasi dan mengintensifkan koordinasi antara mereka untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. “Faktor pimpinan lembaga yang sama-sama masih baru, mestinya dapat dijadikan sebagai pemicu yang baik,” katanya.
Ketiga, yang juga masih menjadi tanda tanya besar adalah kasus suap pemilihan DGS BI Miranda Goeltom. Soalnya, meskipun sudah ada tersangka baru sebanyak 26 orang, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menetapkan pihak-pihak yang diduga sebagai penyuap menjadi tersangka. Sejauh ini, 26 tersangka dan empat terpidana kasus tersebut berasal dari pihak yang menurut KPK disuap. “Kasus ini seperti tebang pilih. Miranda masih bebas, begitu pula Nunun Nurbaetie yang menggunakan alasan sakit lupa ingatan dan sedang menjalani perawatan di Singapura,” ujar Hifdzil. Menurut dia, lembaga yang kini dipimpin Busyro Muqoddas itu mesti kembali menunjukkan sikap independennya, sehingga tidak terpengaruh intervensi politik. “Ini menjadi PR besar ketua KPK yang baru,” tandasnya.
Keempat, kasus Gayus Tambunan. Menurut PUKAT, kasus Gayus seperti dibonsai. Soalnya, yang terlibat dalam kasus itu hanya pejabat kelas teri tanpa big fish yang diucapkan Gayus dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Ucapan Gayus itu seharusnya ditelusuri semua lembaga penegak hukum, soalnya itu adalah fakta persidangan,” tegas Hifdzil.
Kelima, kasus Bank Century. Menurut PUKAT, sejak kasus ini melejit ke permukaan, lembaga penegak hukum belum ada yang bekerja secara maksimal menangani perkara tersebut. KPK sampai saat ini belum bisa menemukan dugaan praktik korupsi. Padahal, lembaga superbodi itu telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang. “KPK belum maksimal kerjanya dalam skandal Century ini, padahal kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 6,7 triliun,” tandas Hifdzil. Berdasarkan data PUKAT, yang telah diperiksa itu berasal dari beberapa instansi, yaitu Bank Indonesia 31 orang, Bank Century 39 orang, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 11 orang, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 12 orang, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) 1 orang dan lainnya 3 orang. “Namun, dalam pemeriksaan yang banyak itu, belum ditemukan indikasi korupsi satu pun,” tandasnya.
Hifdzil berharap, pada tahun ini, KPK, Kejaksaan Agung dan Polri melakukan rekonsiliasi dan mengintensifkan koordinasi antara mereka untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. “Faktor pimpinan lembaga yang sama-sama masih baru, mestinya dapat dijadikan sebagai pemicu yang baik,” katanya.
Ketiga institusi tersebut, menurut dia, mestinya tidak
rebutan dalam menangani perkara dengan melihat kepentingan yang lebih besar,
yakni penegakan hukum. KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri perlu menyadari wewenang
masing-masing. Untuk itu, cara yang paling efektif adalah melakukan koordinasi
antar pihak. “Misalnya untuk kasus korupsi yang melibatkan Gayus, akan lebih
efektif jika diserahkan kepada KPK. Kejaksaan Agung dan Polri fokus pada dugaan
pidana lainnya. Penuntasan kasus ini akan jadi indikasi berhasil tidaknya
pemberantasan korupsi tahun 2011,” ujarnya.
Direktur LSM KPK Watch, Yusuf Sahide menilai, pemberantasan korupsi selama tahun 2010 hasilnya belum menggembirakan. Soalnya, persoalan pemberantasan korupsi di negara ini masih sangat kompleks dan memprihatinkan. “Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultancy, perusahaan konsultan yang berbasis di Hongkong dan Transparency International, Indonesia mendapatkan piagam sebagai negara yang paling korup di 16 negara Asia Pasifik,” katanya, kemarin.
Direktur LSM KPK Watch, Yusuf Sahide menilai, pemberantasan korupsi selama tahun 2010 hasilnya belum menggembirakan. Soalnya, persoalan pemberantasan korupsi di negara ini masih sangat kompleks dan memprihatinkan. “Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultancy, perusahaan konsultan yang berbasis di Hongkong dan Transparency International, Indonesia mendapatkan piagam sebagai negara yang paling korup di 16 negara Asia Pasifik,” katanya, kemarin.
Hal
itu, lanjut Yusuf, mengindikasikan bahwa upaya pemerintah dan lembaga
penegak hukum untuk memberantas korupsi masih pada ranah prosedural dan
kepentingan politik, sehingga belum dapat mencapai sebuah sistem yang bersih.
Menurutnya, hal itu antara lain dapat dilihat
pada belum tuntasnya kasus Bank Century yang diduga merugikan negara sebesar Rp
6,7 triliun. “Padahal, dalam kasus itu sangat mungkin terbuka peluang tindak
pidana korupsi. Kenapa hingga saat ini KPK belum menetapkan adanya indikasi ke
arah sana,” herannya. Yusuf juga memberi
contoh kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang menyeret nama
Miranda Goeltom dan kawannya, Nunun Nurbaetie. Menurutnya, kinerja KPK belum maksimal sekalipun
telah menetapkan 26 tersangka baru, yang lagi-lagi, dari pihak yang disangka
disuap. “Aktor utamanya, si penyuap seharusnya diseret terlebih dahulu. Dan,
KPK perlu memanggil paksa Nunun,” ucapnya.
Melihat kenyataan itu, yusuf memprediksi bahwa
tahun ini pemberantasan korupsi di Indonesia akan stagnan. “Saya setuju dengan
PUKAT, tahun 2010-2011 ialah tahun tanpa makna jika kinerja lembaga penegak
hukum dalam menuntaskan perkara-perkara korupsi masih jadi tanda tanya besar,”
katanya. Yusuf menambahkan, untuk
memberantas korupsi tidak hanya membutuhkan orang yang jujur dan pintar secara
akademis di suatu lembaga penegak hukum, tetapi juga membutuhkan orang yang
“gila”. “Yaitu mereka yang berani mengambil risiko perjuangan atas sebuah
kebenaran,” tandasnya.
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meminta aparat penegak hukum tidak setengah hati menuntaskan perkara-perkara korupsi. Sehingga, pada tahun ini, tanggung jawab aparat penegak hukum kepada masyarakat relatif lebih ringan.
“Semestinya kasus-kasus itu sudah diselesaikan tahun 2010 kemarin. Ini menandakan semua lembaga penegak hukum belum ada yang serius menangani perkara korupsi,” katanya, kemarin.
Menurut Andi, aparat penegak hukum jangan berusaha meninabobokan masyarakat, dengan tidak menyelesaikan perkara-perkara korupsi yang mereka tangani pada tahun lalu. “Penuntasan kasus-kasus tersebut pada tahun ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Itu jika lembaga penegak hukum ingin citranya lebih baik,” ujarnya. Dia menambahkan, masyarakat saat ini bingung mendengar istilah mafia hukum. Soalnya, siapa yang menjadi mafia hukum sesungguhnya tidak pernah ada yang tahu, sekalipun media massa. “Oleh karena itu, penegak hukum jangan sungkan-sungkan untuk mengungkapkan ke publik siapa sesungguhnya mafia hukum itu,” ucapnya.
Dengan jelasnya mafia hukum itu, lanjut Andi, masyarakat bisa mengetahui siapa sesungguhnya mafia hukum tersebut. “Sehingga, tidak seperti ini kondisinya. Mafia hukum selalu disebut-sebut, tetapi muncul di permukaan pun tidak. Dunia hukum kita ini seperti drama telenovela saja,” ujarnya. Menurut Andi, saat ini bukan zamannya lagi merahasiakan suatu hal. Soalnya, saat ini sudah digagas Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. “Jadi, masyarakat berhak tahu siapa itu yang dimaksud lembaga penegak hukum sebagai mafia hukum, jangan hanya melontarkan wacana,” imbuhnya. Dia pun menilai, laporan tahunan yang dibuat PUKAT sebagai catatan dari masyarakat dalam menyoroti jalannya roda pemerintahan saat ini.
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meminta aparat penegak hukum tidak setengah hati menuntaskan perkara-perkara korupsi. Sehingga, pada tahun ini, tanggung jawab aparat penegak hukum kepada masyarakat relatif lebih ringan.
“Semestinya kasus-kasus itu sudah diselesaikan tahun 2010 kemarin. Ini menandakan semua lembaga penegak hukum belum ada yang serius menangani perkara korupsi,” katanya, kemarin.
Menurut Andi, aparat penegak hukum jangan berusaha meninabobokan masyarakat, dengan tidak menyelesaikan perkara-perkara korupsi yang mereka tangani pada tahun lalu. “Penuntasan kasus-kasus tersebut pada tahun ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Itu jika lembaga penegak hukum ingin citranya lebih baik,” ujarnya. Dia menambahkan, masyarakat saat ini bingung mendengar istilah mafia hukum. Soalnya, siapa yang menjadi mafia hukum sesungguhnya tidak pernah ada yang tahu, sekalipun media massa. “Oleh karena itu, penegak hukum jangan sungkan-sungkan untuk mengungkapkan ke publik siapa sesungguhnya mafia hukum itu,” ucapnya.
Dengan jelasnya mafia hukum itu, lanjut Andi, masyarakat bisa mengetahui siapa sesungguhnya mafia hukum tersebut. “Sehingga, tidak seperti ini kondisinya. Mafia hukum selalu disebut-sebut, tetapi muncul di permukaan pun tidak. Dunia hukum kita ini seperti drama telenovela saja,” ujarnya. Menurut Andi, saat ini bukan zamannya lagi merahasiakan suatu hal. Soalnya, saat ini sudah digagas Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. “Jadi, masyarakat berhak tahu siapa itu yang dimaksud lembaga penegak hukum sebagai mafia hukum, jangan hanya melontarkan wacana,” imbuhnya. Dia pun menilai, laporan tahunan yang dibuat PUKAT sebagai catatan dari masyarakat dalam menyoroti jalannya roda pemerintahan saat ini.
Tidak ada komentar on "KORUPSI