A. Pendahuluan
Dimensi organisasi berkenaan dengan
siapa atau kelompok mana yang harus mengimplementasikan atau mengerjakan apa
yang telah diputuskan. Aspek pertama yang ditekankan adalah pembagian
tugas,fungsi dan tanggung jawab dalam bekerja baik secara vertikal ( mulai dari
jabatan paling atas sampai paling bawah ) maupun horisontal ( berbagai
unit-unit atau bidang-bidang yang dibentuk ). Aspek kedua yang tidak kalah
penting adalah apakah pihak yang mengerjakan pekerjaan tersebut mampu atau
memiliki kompetensi yang memadai dalam mengerjakannya. Dan aspek ketiga adalah
apakah ada keseimbangan antara otoritas dalam mengerjakan suatu tugas dengan
kemampuan dalam mengerjakan tugas tersebut. Hal ini pernah dipersoalkan oleh
Victor A. Thompson dalam bukunya “ Modern Organization” (1961). Disamping itu
ada aspek lain yaitu merebaknya gejala “Parkinson” atau “Raising Pyramid”,
suatu gejala yang pernah populer sekali di tahun 1957 oleh C. Northcote
Parkinson.
B. Batasan dan Ruang Lingkup
Didalam literatur tentang organisasi
terdapat berbagai definisi organisasi dengan rumusan yang bervariasi. Dwight
Waldo yang tertarik dengan struktur mendefinisikan organisasi sebagai
struktur otoritas dan hubungan personal
dalam suatu sistem administrasi, sementara Chester Barnard yang cenderung
melihat organisasi sebagai suatu sistem, mendefinisikannya sebagai suatu sistem
aktivitas yang terkoordinasikan secara sadar atau sistem kekuatan dua orang
atau lebih dan Philip Seiznick mendefinisikannya sebagai suatu ekspresi
struktural dari kegiatan rasional. Setelah mempelajari berbagai pendapat ,
Gareth Morgan menyatakan bahwa organsiasi dapat di definisikan secara
bervariasi, yaitu sebagai
1. Suatu
kumpulan orang yang ingin mencapai tujuan secara rasional.
2. Suatu
koalisi dan konstituen yang berkuasa dimana mereka menggunakan kekuasaannya
untuk mengontrol distribusi sumber daya dalam organisasi.
3. Suatu
sistem terbuka dimana terjadi sistim transformasi input-output dengan
lingkungan.
4. Sistem
yang menghasilkan pemaknaan tertentu dimana tujuan diciptakan secara simbolik
dan dipelihara oleh manajemen.
5. Sistem
pasangan yang independen, dimana unit-unit yang berada didalamnya dapat
memiliki tujuan yang berbeda atau konflik.
6. Suatu
sistem politik dimana konstituen internal berusaha mengontrol proses pembuatan
keputusan dalam memantapkan posisinya.
7. Suatu
alat untuk mendominasi
8. Suatu
unit yang memproses informasi baik secara horisontal maupun vertikal melalui
suatu hierarki struktural.
9. Suatu
penjara psikis dimana anggotanya selalu ditekan/ dihambat kebebasannya oleh
organisasi misalnya dengan menetapkan pembagian kerja,standard kerja
pembentukan unit dan divisi, dan
10. Suatu
kontrak sosial dimana terdapat serangkaian kesepakatan yang tidak tertulis dan
para anggotanya harus berperilaku sedemikian rupa sehingga mendapatkan
kompensasi.
Definisi lain yaitu organisasi adalah suatu kelompok orang
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pengertian ini
organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang dikelompokkan dalam suatu
kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Pengelompokkan orang-orang tersebut
didasarkan pada prinsip-prinsip pembagian kerja, peranan dan fungsi,hubungan
,prosedur,aturan,standard kerja, tanggung jawab dan otoritas tertentu. Wujud
pengelompokkan tersebut dapat diamati dari suatu struktur dan hierarki. Suatu
organisasi sering diberi nama “sistim sosial” dimana orang-orang yang berada
didalamnya harus taat terhadap berbagai norma yang telah disepakati sehingga
nilai yang dikejar bersama (tujuan) dapat tercapai.
Begitu
pentingnya struktur organisasi , maka teori organisasi seringkali dilihat
sebagai suatu disiplin yang mempelajari struktur dan desain organisasi, baik dalam aspek
deskripsi maupun preskripsi. Tujuan dari teori tersebut tidak lain yaitu mengetahui
bagaimana sebenarnya struktur itu dibuat, bagaimana dampaknya terhadap kinerja
organisasi dan individu, serta memberikan saran bagaimana organisasi-organisasi
tersebut dapat memperbaiki strukturnya.
C.
Perubahan Paradigma
Didalam teori organisasi, terdapat beberapa pola
‘blueprint” yang berkembang, mulai dari paradigma klasik ( first blueprint),
paradigma human (second blueprint),paradigma sistem (third blueprint) dan
paradigma kolaborasi (forth blueprint). Dalam blueprint pertama kita mengenal
nama besar Adam Smith, Henry Fayol, F.Taylor,L.Urwick dan L.Gullick,H.L Gantt
dsb. Mereka merancang suatu organisasi yang berorientasi kepada efisiensi
tinggi dengan kendali yang sempit. Dalam
blueprint kedua, dapat dilihat danya pergeseran pandangan tentang manusia dalam
organisasi. Manusia telah dilihat sebagai makhluk sosial yang dapat membentuk
sendiri kelompok-kelompok informal sesuai dengan keinginannya, dan ingin
bekerja pada kondisi kerja yang menyenangkan.
Dalam blueprint ketiga, organisasi dilihat sebagai suatu
sistem dimana diasumsikan bahwa didalamnya terdapat unsur-unsur
1. Saling
ketergantungan (interdependency) dengan lingkungan yaitu mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan,
2. Keterbukaan
(openness), yang memberi reaksi kepada segala sesuatu yang datang dari
lingkungan,
3. Keseluruhan
(holisme) dimana organisasi menjadi bagian dari keseluruhan lingkungan
4. Sifat
rasionalitas dan obyektif itu, dan
5. Kelompok
kerja yang kohesif
Muncul blueprint keempat atau paradigma baru yang
mengarankan perhatian kepada realitas dan kebutuhan pada akhir dekade abad
keduapuluh. Karya K.E. Weick dan J.D.Orton pada tahun 1990an tentang “loosely
coupled organizations” dimana organisasi-organisasi hendaknya membentuk didalamnya
pasangan-pasangan unit kerja (loose coupling within organization) dan membentuk
pasangan kerja dengan organisasi lain
(loose coupling between organizations) yang responsif antara satu dengan yang
lain, dan saling kolaboratif. Jadi loose coupling baik didalam maupun antara
organisasi merupakan pusat perhatian utama dari paradigma tersebut.
Dua faktor tersebut yang berpengaruh terhadap struktur
organisasi adalah “configuration”. Yang pertama menunjukkan bahwa suatu
struktur yang dibentuk bukan dalam suatu lingkungan yang vacuum atau terisolasi
tetapi berhubungan dengan variabel-variabel strategis dan budaya yang ada dalam
sistem atau lingkungan. Dan yang kedua yaitu “contingancy” menunjukkan bahwa
organisasi dengan konfigurasi yang berbeda akan memiliki karakteristik kinerja
yang berbeda pula.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa birokrasi
merupakan suatu bentuk organisasi yang dilematis artinya dalam kondisi tertentu
ia tidak dibutuhkan, tetapi ketika kondisi berubah menjadi kompleks dan luas ia
mulai dibutuhkan.dengan kata lain, menolak birokrasi atau menerimanya selalu
mengandung resiko. Semuanya tergantung kepada bagaimana manusia melakukan
penyesuaian berdasarkan perubahan situasi yang dialaminya. Weber sendiri juga
tidak pernah mengatakan bahwa bentuk organisasi yang dianggapnya ideal itu akan
berlaku pada segala jaman.
D.
Desain Struktur Organisasi
Desain organisasi adalah suatu proses yang berkenaan dengan
bagaimana aktivitas-aktivitas organisasi distrukturkan atau dituangkan dalam
suatu bentuk struktur, dengan tujuan untuk membantu manajer untuk dapat
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Yang dikembangkan dalam desain
organisasi adalah
1. Hirarki
dari tujuan organisasi (hubungan antara tujuan dengan cara)
2. Konsep
pembagian kerja
3. Dan
sistim koordinasi dan kontrol
Sedangkan struktur organisasi menunjukkan pola interaksi
antara anggota organisasi yang dapat dibedakan atas bentuk klasik atau sering
disebut
1. Bentuk
birokratik atau mekanistik
2. Bentuk
lingking-pin
3. Bentuk
proyek, dan
4. Bentuk
matriks
Bentuk birokratik atau mekanistik memiliki karakteristik
sebagai berikut
1. Ada
pembagian departementasi fungsional
2. Fungsi
lini dan staff
3. Hirarki
otoritas
4. Rentang
kendali
5. Bentuk
datar atau piramida / tinggi dan
6. Berlaku
aturan yang birokratis
Bentuk linking-pin ,
karya Reinsis Likert (1967) dibuat untuk memungkinkan anggota organisasi
berpartisipasi pada semua tingkatan. Untuk mensukseskan tujuan organisasi maka
seorang manajer harus menggunakan tiga prinsip utama yaitu prinsip hubungan
yang bersifat supportif, penggunaan kelompok pengambilan keputusan dan
penciptaan tujuan dengan kinerja yang tinggi. Meskipun demikian , asusmsi yang
harus dipegang agar bentuk ini dapat berjalan adalah
1. Tugas
pokok yang ditangani benar-benar membutuhkan interaksi yang intensif antar
anggota organisasi, juga tugas pokok yang bersifat berurutan dan saling memberi
atau membantu dalam pekerjaan, sehingga memaksa organisasi yang bersangkutan
untuk melaksanakan kerjasama dan koordinasi
2. Anggota
organisasi harus memiliki ketersediaan ,kemampuan,pengetahuan dan keterampilan
dalam pengambilan keputusan, dan
3. Harus
ada kemampuan merespons tuntutan organisasi secara bertanggungjawab dan harus
ada kesesuaian antara tujuan individual anggota organisasi dengan tujuan
organisasi itu sendiri.
Desain
struktur yang berbentuk proyek sangat
bersifat fleksibel dan tidak permanen. Struktur ini bertahan selama dibutuhkans
aja. Sedangkan dalam struktur yang bersifat matriks
, setiap individu akan diberi otoritas dan tanggungjawab proyek, tetapi
tetap dalam divisinya ( menjalankan fungsinya sebagaimana terdapat dalam
divisinya). Disamping ini ada juga bentuk lain yang merupakan bagian dari
bentuk matriks yang disebut sebagai committee
organization . Bentuk ini biasanya dicipttakan untuk kepentingan khusus
misalnya untuk memecahkan masalah tertentu dalam masyarakat.
Menurut
Henry Mintzberg dalam suatu organisasi
terdapat lima bagian dasar atau elemen penting yaitu
1. The
operating core yang dapat dilihat dari pelaksana yang melakukan pekerjaan dasar
yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa.
2. The
strategic aspex yaitu para manajer tingkat tertinggi yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan
organisasi
3. The
middle line, yaitu para manajer yang menghubungkan pekerja dasar dengan para
manajer tertinggi
4. The
technostructure yaitu para analisist yang bertanggung jawab terhadap
standarisasi bidang-bidang tertentu dari organisasi, dan
5. The support staff yaitu orang yang menjadi
staff yang memberikan dukungan pelayanan langsung bagi organisasi.
Desain yang dijelaskan diatas dapat
digambarkan sebagai berikut
PIMPINAN TERTINGGI
|
KEPALA DIVISI
|
PELAKSANA
OPERASIONAL
|
TEKNO
STRUKTUR
|
STAFF
PENDUKUNG
|
1.
Struktur Sederhana
Bentuk “simple structure” digunakan bila suatu organisasi
memiliki tingkat kompleksitas dan formalisasi yang rendah, dan otoritasnya
terpusat pada seorang eksekutif senior atau dalam perusahaan swasta terpusat
pada pemilik. Didalam struktur ini, akuntabilitasnya menajdi jelas,
keragu-raguan terhadap tujuan sangat kecil karena anggota-anggotanya dapat
mengetahui misi organisasi dengan mudah, dan dapat diketahui dengan jelas
kontribusi setiap kegiatan seseorang terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Meskipun demikian struktur ini tidak dapat dipertahankan apabila organisasinya
bertumbuh menjadi besar.
2.
Struktur Birokrasi Mesin
Bentuk “machine bureaucracy” digunakan apabila
spesialisasi/ differensiasi, formalisasi dan sentralisasinya tinggi, tetapi
lingkungan bersifat sederhana dan stabil. Struktur divisional ini menguntungkan
bila dilihat dari pengaruhnya terhadap keseluruhan organisasi, dimana satu
divisi bila gagal tidak begitu mempengaruhi keseluruhan organisasi. Dengan kata
lain kinerja satu divisi tidak berpengaruh satu sama lain.
5.
Struktur Adhocracy
Adhocracy adalah suatu bentuk struktur yang digunakan
bila differensiasi horisontalnya tinggi, differensiasi vertikalnya rendah,
tingkat formalisasinya rendah, kebutuhan akan fleksibilitas dan responsivitas
tinggi, serta pengambilan keputusan bersifat desentralisasi. Organisasi
tersebut mempekerjakan pada profesional dengan tingkat keahlian yang tinggi dan
penerapan keahlian tersebut tidak boleh dihambat oleh tingkatan administrasi
atau hirarki yang panjang. Karena mempekerjakan para ahli maka kebutuhan akan
supervisi sangat kecil. Keuntungan dari desain ini adalah kemampuannya dalam
memecahkan masalah rumit yang dihadapi. Para spesialis dari berbagai disiplin
ilmu dimanfaatkan untuk berkolaborasi dalam suatu tim koordinasi yang mantap sehingga masalah-masalah rumit
yang dihadapi lebih mudah dipecahkan.
E.
Kaitan Antara Desain Struktur dengan Pola Manajemen
Secara teoritis desain struktur organsiasi dapat
dilakukan secara “top-down” dan “bottom-up”. Dalam proses top-down, tujuan umum
organsiasi harus diterjemahkan kedalam tujuan-tujuan khusus atau spesifik.
Tujuan-tujuan khusus ini kemudian menjadi dasar untuk mebentuk
departemen-departemen. Dalam prosedur bottom-up, proses-proses dasar yang
digunakan organisasi terlebih dahulu ditetapkan dan kemudian ditentukan
teknologi pokok yang dipakai dalam proses-proses tersebut. Meskipun secara
teoritis terdapat dua prosedur yang berlainan tetapi dalam kenyataan keduanya
tidak dapat dipisahkan. Mengapa ? karena mendesain organisasi tidak dilakukan
sekali jadi. Organisasi biasanya di “desain” dan di-“redesain” sedemikian rupa
sampai memperoleh suatu bentuk yang mantap. Karena itu, bila telah menempuh
proses top-down ada baiknya dilakukan penyesuaian melalui pendekatan bottom-up.
Kombinasi antara kedua prosedur tersebut sangat di anjurkan.
1.
Tingkat Differensiasi
Tingkat differensiasi menunjukan sampai seberapa besar
jumlah unit yang dibutuhkan dan spesialisasi apa saja yang dibutuhkan dalam
organisasi. Differensiasi horisontal berkenaan dengan jumlah unit kesamping
yang dibutuhkan ,sementara differensiasi vertikal berkaitan dengan jarak keatas
mulai dari posisi yang paling rendah ke yang paling tinggi (prinsip hirarki).
Jumlah dan jenis unit unit tersebut sangat tergantung dari tujuan umum dan
khusus, atau berdasarkan produk (desain produk) atau fungsi (desain
fungsional). Sementara itu ajrak ke atas atau kebawah sangat tergantung dari kompleksitas
pekerjaan.
Dalam organisasi yang menggunakan tradisi human
relations, differensiasi dalam konteks pembentukan unit secara vertikal dan
horisontal masih relatif sama dengan tradisi organisasi tradisional. Dalam
organisasi yang menggunakan tradisi human resources differensiasi di tuntun
oleh suatu prinsip bahwa atasan dan bawahan merupakan suatu tim yang
kemampuannya harus ditingkatkan seoptimal mungkin, bawahan juga memiliki
kemampuan yang siap untuk digunakan dan bahwa unit unit yang ada didalamnya
harus bekerja sama mencapai tujuan.
2.
Tingkat Formalisasi
Tingkat formalisasi berkenaan dengan standarisasi,
prosedur kerja, dan aturan serta norma-norma formal yang ditetapkan untuk
dipatuhi dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam organisasi yang tradisional
orientasinya , standarisasi ini diterapkan oleh atasan atau pusat dan semua
pekerjaan atau bawahan harus mengikuti standard tersebut. Dalam organisasi yang
masih tradisional ,prosedur kerja biasanya ditemukan dari atas dan bawahan hanya
melaksanakannya. Kadang-kadang yang terjadi justru gejala over brokrasi.
Penetapan aturan-aturan kerja serta norma-norma yang harus dipatuhi semua
personil, bagian dan tingkatan manajemen disebut “regulasi”. Dalam organisasi
yang masih tradisional,regulasi atau bahkan overegulasi sangat terasa. Bawahan
diperketat dengan berbagai peraturan dan ketentuan sehingga tidak dapat
berkutik sedikitpun.
3.
Tingkat Dispersi Otoritas
Dispersi otoritas beekenaan dengan bagaimana mengatur
pembagian kewenangan untuk memutuskan atau mengambil keputusan tentang sesuatu
masalah. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari dispersi otoritas tersebut yaitu
desentralisasi dan sentralisasi. Desentralisasi berkenaan dengan pendelegasian
otoritas yang lebih banyak oleh pengambil keputusan tingkat atas kepada tingkat
yang lebih rendah, sedang sentralisasi adalah pemusatan otoritas pengambilan
keputusan pada pusat atau tingkat tertinggi. Didalam organisasi yang dirancang
berdasarkan tradisi organisasi tradisional, otoritas biasanya terpusat apda
tingkat yang paling tinggi. Adanya keengganan untuk mendelegasikan otoritas
ketingkat yang lebih rendah.
Sementara itu dalam organisasi yang dirancang dengan
tradisi human relations, bawahan memang tidak diberi otoritas tapi diberi hiburan dalam bentuk
pemberian kesempatan untuk merasakan sebagai orang penting.dalam kaitannya
dengan organisasi yang memiliki tradisi human relations, keputusan tersebut
selalu cenderung dibuat bersama anatara atasan dan bawahan yang mengetahui atau
berurusan dengan masalah tertentu.
E.
Efektivitas Organisasi
Suatu organisasi dapat dikatakan efektif kalau tujuan organisasi atau nilai-nilai
sebagaimana ditetapkan dalam visinya tercapai. Nilai-nilai ini merupakan
nilai-nilai yang telah disepakati bersama antara para stakeholders dari
organisasi yang bersangkutan. Karena itu pencapaian visi adalah inidikator yang
paling penting. Akan tetapi seringkali visi organisasi dapat tercapai namun
bukan secara sengaja atau sebagaimana direncanakan karena itu perlu juga
dinilai pengembanan misi organisasi dan keterkaitannya dengan pencapaian visi. Meskipun
demikian dalam berbagai literatur terdapat beberapa pendekatan yang
menggambarkan keberhasilan suatu organisasi atau efektivitas organisasi.
Menurut Amitai Etzioni, efektivitas organisasi menggambarkan sampai seberapa
jauh suatu organisasi merealisasikan tujuan akhirnya (goals),sedangkan secara
umum, sebagaimana dikatakan oleh John R.
Kimberly , menyangkut semua kondisi yang diperlukan organisasi untuk tetap
bertahan hidup atau yang dikenal dengan istilah
“survival”. Salah satunya adalah efektivitas organisasi sebagaimana
diungkapkan oleh John P. Camobell dengan
jumlah 30 kriteria efektivitas.
Kriteria tersebut adalah tingkat efektivitas secara
keseluruhan, produktivitas efisiensi, keuntungan, kualitas, tingkat kecelakaan,
perimbangan, tingkat ketidakhadiran, pergantian, kepuasan kerja, motivasi
kerja, semangat kerja, tingkat kendali, tingkat
kohesi/konflik,fleksibilitas/kemampuan beradaptasi, rencana dan penetapan
tujuan, persetujuan tentang tujuan, tingkat internalisasi tujuan
organisasi,peran dan kesesuaian norma, keterampilan manajerial/kerja,manajemen
dan komunikasi informasi, kemudahan, pemanfaatan lingkungan,evaluasi oleh pihak
luar, stabilitas, nilai SDM, partisipasi dan saling pengaruh, perhatian
terhadap training dan pengembangan, dan terhadap prestasi.
G.
Beberapa Isu Penting
Sebagaimana telah disampaikan di awal bab ini, isu yang
sangat populer disetiap organisasi publik saat ini adalah merebaknya gejala “parkinson”
seorang pejabat terus mengangkat jumlah bawahannya meskipun beban seorang kerja
relatif tetap, sebagai perwujudan kekuasaannya. Di Indonesia, gejala ini dapat
diamati ketika para pejabat melakukan hal-hal yang mengarah pada kolusi dan
nepotisme. Artinya,meskipun beban kerja di organisasi publik relatif tetap,
seorang pejabat terus memasukan anggota keluarga, handai, taulan, teman dekat,
atau orang lain, sebagai hasil persekongkolan.
Kebiasaan atau budaya dan beberapa etnis di Indonesia
nampaknya masih kental, dimana kakak yang lebih tua bertanggung jawab untuk
mencarikan pekerjaan adik-adiknya, atau orang-orang dari suku atau klan nya
harus di utamakan. Hal ini tentunya merugikan beban anggaran negara karena
telah terjadi pemborosan yaitu mempekerjakan orang-orang yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Isu kedua berkenaan dengan penentuan jabatan atau posisi.
Seringkali, penentuan suatu jabatan atau posisi tidak didasarkan atas kebutuhan
rill, tetapi atas pertimbangan berapa orang atau siapa saja yang harus diberi
perhatian khusus. Karena itu, tidaklah
mengherankan kalau jabatan atau posisi sering dikarang-karang, atau disesuaikan
dengan keahlian dari pihak-pihak yang harus diberi perhatian khusus.
Isu lain yang juga sangat populer, yaitu menempatkan
orang tidak sesuai dengan kompetensi atau spesialisasinya. Hal ini mungkin
disebabkan oleh ketiadaan orang yang memiliki kompetensi itu, mungkin juga
karena masalah suka / tidak suka (Like and Dislike ), tetapi mungkin juga
karena mendapatkan promosi jabatan. Suatu isu menarik yang sering muncul
kepermukaan adalah isu tentang penentuan struktur organisasi. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam penentuan jabatan, isu tentang penentuan struktur serta
jabatan lebih bersifat politis,lebih didasarkan pada muatan kepentingan, dari pada
kebutuhan riil.
Tidak ada komentar on "Dimensi Organisasi